Labuan Bajo, 11 April 2022. Balai Taman Nasional Komodo menginisiasi rapat koordinasi dengan Direktorat Navigasi Penerbangan – Kementerian Perhubungan dan Asosiasi Pilot Drone Indonesia (APDI) terkait dengan pengawasan dan pengoperasian drone di kawasan Taman Nasional Komodo. Koordinasi ini diawali dengan penyempurnaan protokol kunjungan wisata alam di Taman Nasional Komodo yang didalamnya mengatur komponen penggunaan drone oleh wisatawan.
Balai Taman Nasional Komodo melalui Muhammad Ikbal Putera (Pengendali Ekosistem Hutan Pertama) menjalin hubungan antar lembaga dengan Ketua APDI, Akbar Marwan. Akbar kemudian menghubungkan Ikbal dengan Staf Direktorat Penerbangan – Kementerian Perhubungan, Fajar Sunarjanto. Hingga akhirnya Kepala Balai Taman Nasional Komodo memutuskan untuk menggelar rapat koordinasi pada tanggal 11 April 2022 secara daring dengan poin pembahasan mengenai implementasi empat peraturan Menteri yang mengatur pengoperasian dan pengawasan drone. Keempat peraturan Menteri yakni (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 37 Tahun 2020 Tentang Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia; (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 34 Tahun 2021 Tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 22 Tentang Standar Kelaikudaraan Untuk Sistem Pesawat Udara yang Dikendalikan Jarak Jauh (Remotely Piloted Aircraft System); (3) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 63 Tahun 2021 Tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Tentang Sistem Pesawat Udara Kecil Tanpa Awak; dan (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.16/MENLHK/SETJEN/KKL.1/2018 Tentang Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Keempat peraturan tersebut perlu diindahkan penerapannya di tingkat tapak, untuk itu Balai Taman Nasional Komodo berupaya untuk mengadaptasi tata administrasi pengoperasian drone tersebut khususnya bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan Taman Nasional Komodo. Pengguna drone di dalam kawasan Taman Nasional Komodo kian meningkat dengan semakin lumrahnya paket dokumentasi yang ditawarkan oleh agen perjalanan wisata/biro perjalanan wisata di Labuan Bajo. Jasa dokumentasi aerial ini tentu sangat menarik perhatian wisatawan domestik. Seperti yang disebutkan pada penelitian tesis Putera (2019) bahwa motivasi wisatawan domestik (Indonesia) berkunjung ke Taman Nasional Komodo utamanya adalah ‘social recognition’. Motivasi ‘social recognition’ yang tergolong sebagai push factor ini berarti bahwa wisatawan datang ke taman nasional tujuan utamanya adalah memperoleh dokumentasi bersama dengan obyek kunci di kawasan tersebut untuk kemudian diunggah di media sosial. Meski penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan tahun 2018, motivasi wisatawan nusantara terkait ‘social recognition’ belum tergantikan. Hal ini tentu tidak menjadi masalah, namun sangat disayangkan jika wisatawan yang sudah jauh-jauh datang ke ‘Surga Tersembunyi Dunia’ dan telah mendapatkan informasi interpretasi dari para naturalist guide tidak memaknai hal tersebut dengan seksama. Ruh melakukan aktivitas ekowisata dapat saja gugur karena nilai edukasi yang semestinya didapatkan oleh wisatawan tidak dipahami secara optimal
Selain dapat dimanfaatkan sebagai instrumen dokumentasi, pengoperasian drone di dalam kawasan Taman Nasional Komodo juga perlu sangat hati-hati dilakukan. Taman Nasional Komodo merupakan habitat bagi banyak satwa liar endemik dan atau memiliki peranan jasa ekosistem bagi lingkungan yang besar. Sebagai contoh, Pulau Kalong Rinca pada lingkup wilayah kerja Resort Kampung Rinca Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Balai Taman Nasional Komodo. Pulau Kalong Rinca ini merupakan habitat kunci bagi kalong besar (Pteropus vampyrus) yang selalu terbang mencari makan pada sore hari (17:30 – 18:30) ke arah Flores dan kembali tidur menjelang pagi hari (04:00 – 05:30). Penggunaan drone pada sekitar perairan Pulau Kalong, terlebih pada saat kalong besar beraktivitas, tidak diperkenankan. Hal ini dapat mengganggu pola terbang dan perilaku serta membahayakan nyawa kalong besar saat beraktivitas. Dari contoh kecil ini, menekankan bahwa Balai Taman Nasional Komodo perlu mengatur pengoperasian drone dalam komponen protokol kunjungan wisata alam di Taman Nasional Komodo. Sama halnya dengan kelompok burung pemangsa (bird of preys) di dalam kawasan Taman Nasional Komodo yaitu elang flores (Spizaetus floris) dan elang laut dada putih (Haliaeetus leucogaster). Kedua elang ini merupakan burung raptor berukuran besar yang terbang mengitari beberapa tebing dan lembah dalam kawasan dengan ketinggian terbang yang bervariasi. Kehadiran dan suara drone tentu mengancam keberlangsungan hidup kedua elang ini. Elang dapat menganggap drone sebagai kompetitor lain di wilayah perburuannya. Jika drone diserang oleh elang tersebut maka besar kemungkinan elang terluka/mati dan drone pun dipastikan jatuh dari ketinggian.
Drone tentu memiliki manfaat positif terhadap pengalaman wisatawan melakukan ekowisata di Taman Nasional Komodo. Penelitian yang dilakukan oleh King (2014) menyebutkan bahwa drone merevolusi pengalaman ekowisata dimana pengguna kawasan dapat memanfaatkan drone diantaranya untuk: meningkatkan kualitas pemasaran, mencari keberadaan satwa liar pada lokasi yang sulit untuk dijangkau, mengambil foto dan video aerial, mengawasi aktivitas flora dan fauna, mempermudah proses pemetaan dan penelusuran wilayah, hingga membantu proses misi pencarian tertentu.
Meskipun demikian, banyak pula wisatawan yang tidak menyukai suara dengungan terbang drone. Beberapa kali kejadian di obyek daya tarik Padar Selatan – Pulau Padar dimana wisatawan mengutarakan kekesalannya kepada petugas terhadap aktivitas drone yang terbang diatas ruang udara wisatawan tersebut berada. Wisatawan tersebut keberatan dengan suara dengung drone yang menggangu motivasinya untuk bisa menikmati kesunyian alam (tranquility) dan indahnya pemandangan alam tanpa adanya gangguan manusia (healing forest). Penelitian terhadap dampak suara dengung drone terhadap kenyamanan dan kepuasan berkunjung diantara wisatawan, khususnya yang beraktivitas di Taman Nasional Komodo, masih belum banyak diteliti. Namun berdasarkan pengamatan petugas (anecdotal evidence) di lapangan, peluang timbulnya dampak negatif terhadap kenyamanan dan kepuasan berkunjung wisatawan tetap ada.
Memperhatikan pro dan kontra dari pengoperasian drone menguatkan urgensi Balai Taman Nasional Komodo untuk mengatur tata cara penggunaannya di dalam kawasan. Adapun hal yang semestinya pengguna drone miliki sebelum menerbangkan drone di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, antara lain: (1) memperoleh lisensi pilot drone yang diterbtikan oleh Direktur Kelaikudaraan dan dan Pengoperasian Pesawat Udara – Kemenhub, (2) meregistrasi unit drone melalui aplikasi Sistem Registrasi Drone dan Pilot Drone Indonesia (SIDOPI) melalui tautan berikut: https://imsis-djpu.dephub.go.id/drone/, (3) memiliki asuransi drone, (4) membuat flight plan dan emergency flight plan lengkap dengan tujuan pengoperasiannya, dan (5) memiliki izin terbang dronedari Balai Taman Nasional Komodo setelah memperoleh izin terbang dari Direktorat Navigasi Penerbangan – Kemenhub. Wisatawan juga perlu menginformasikan Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau lebih dikenal dengan nama Airnav Indonesia yang mengelola ruang udara setempat guna memperoleh rekomendasi izin terbang drone. Saat ini, peroleh izin pengoperasian drone pada ketiga lembaga tersebut setidaknya memerlukan waktu pemrosesan mencapai maksimal 21 hari kerja. Untuk itu, wisatawan pengguna drone perlu dengan bijak merencanakan dan mengajukan permohonan pengoperasian drone sebelumnya.
Drone memang aktif digunakan sebagai instrumen dokumentasi andalan para pelaku usaha wisata untuk meningkatkan daya jualnya dengan mengunggulkan foto dan video aerial di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Meski demikian, wisatawan hendaknya merencanakan baik pengoperasian drone di dalam kawasan Taman Nasional Komodo sebagaimana peraturan dan ketentuan yang berlaku. Perlu diingat bahwa Taman Nasional Komodo adalah kawasan konservasi dimana terdapat banyak satwa liar hidup di dalamnya yang tidak boleh diganggu keberadaannya oleh hadirnya drone di wilayah tinggalnya.
Sumber : Balai Taman Nasional Komodo
Sumber Pustaka:
King, L. M. (2014). Will drones revolutionise ecotourism?. Journal of Ecotourism, 13(1), 85-92.
Putera, M. I. (2019). Investigating Tourists’ Motivation for Visiting National Park: Case of Komodo National Park, Indonesia (Doctoral dissertation).
Penanggungjawab Berita: Kepala Balai Taman Nasional Komodo – Lukita Awang Nistyantara, S.Hut., M.Si. (+6285215959862)
Penulis Berita: Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Pertama – Muhammad Ikbal Putera, S.Hut., M.S. (+6281310300678)
Penyunting Berita: Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Pertama – Muhammad Ikbal Putera, S.Hut., M.S. (+6281310300678)
Informasi Lebih Lanjut: Call Center Balai Taman Nasional Komodo (+6282145675612)